ADS

Advertising:

Bingtanghulu: Camilan Tradisional Manis dari Tiongkok yang Melegenda

Bingtanghulu adalah salah satu camilan tradisional Tiongkok yang kini kembali populer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan tampilannya yang berwarna cerah dan mengilap seperti permen, jajanan ini tidak hanya menggoda lidah tetapi juga memikat mata. Bingtanghulu sering dianggap sebagai simbol kebahagiaan dan nostalgia masa kecil bagi banyak orang di Tiongkok utara.

Asal Usul Bingtanghulu

Camilan ini telah ada sejak lebih dari seribu tahun lalu, tepatnya pada masa Dinasti Song. Legenda menyebutkan bahwa Bingtanghulu pertama kali dibuat untuk menyembuhkan selir kaisar yang sakit. Seorang tabib menyarankan selir itu memakan buah hawthorn yang dilapisi gula selama beberapa hari, dan ternyata berhasil menyembuhkan penyakitnya. Sejak saat itu, Bingtanghulu mulai dikenal luas dan menjadi jajanan populer di kalangan rakyat.

Nama “Bingtanghulu” sendiri berasal dari bahasa Mandarin — bing tang berarti gula batu, dan hulu berarti labu atau bentuk lonjong seperti tusukan sate. Secara harfiah, artinya “buah tusuk berlapis gula batu”.

Secara tradisional, Bingtanghulu dibuat dengan buah hawthorn merah (shan zha) yang memiliki rasa asam segar. Buah-buah tersebut ditusuk menggunakan batang bambu, lalu dicelupkan ke dalam karamel gula cair panas. Setelah mengeras, gula membentuk lapisan tipis yang renyah, menciptakan perpaduan unik antara manis dan asam.

Kini, variasi Bingtanghulu semakin banyak. Tidak hanya menggunakan hawthorn, beberapa versi modern memakai buah seperti stroberi, anggur, kiwi, jeruk, hingga tomat ceri. Bahkan, ada yang menambahkan lapisan cokelat, wijen, atau taburan kacang untuk cita rasa lebih kaya.

Keunikan utama Bingtanghulu terletak pada teksturnya. Ketika digigit, lapisan gula yang keras akan pecah dengan bunyi “krek” khas sebelum rasa manisnya bercampur dengan kesegaran buah di dalamnya. Sensasi kontras inilah yang membuat camilan ini begitu disukai.

Bingtanghulu di Era Modern

Meskipun berasal dari zaman kuno, Bingtanghulu kini mengalami kebangkitan popularitas berkat media sosial. Banyak konten kreator kuliner menampilkan cara pembuatan Bingtanghulu dengan tampilan artistik yang menggoda. Di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, jajanan ini kini menjadi bagian dari street food culture modern, disajikan di kios malam atau festival makanan.

Di luar Tiongkok, Bingtanghulu juga mulai dikenal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Banyak kafe dan bazar kuliner yang menawarkan versi lokal dengan buah tropis seperti mangga dan nanas. Rasanya tetap mempertahankan karakter manis-asam yang menyegarkan, sekaligus menjadi pengalaman baru bagi penikmat kuliner Asia.

Simbol Keceriaan dan Musim Dingin

Secara budaya, Bingtanghulu sering dikaitkan dengan musim dingin di Tiongkok. Lapisan gula yang mengeras sempurna di udara dingin menjadikannya camilan khas pada bulan-bulan bersalju. Di sisi lain, warnanya yang merah cerah melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan, sehingga sering dijual menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.

Bingtanghulu bukan sekadar camilan manis, tetapi juga bagian dari warisan kuliner dan budaya Tiongkok yang penuh makna. Perpaduan sederhana antara buah segar dan gula ternyata mampu menciptakan cita rasa yang tak lekang oleh waktu.

Kini, dari jalanan Beijing hingga pasar malam di Jakarta, Bingtanghulu terus memikat generasi baru — membuktikan bahwa makanan tradisional bisa tetap hidup dan relevan di era modern.

Posting Komentar

0 Komentar